Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegaralah beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman tetapi di sore harinya menjadi kafir. Atau pada sore hari beriman tetapi keesokan harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mencari perhiasan/kesenangan dunia.” (HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)
Hasan al-Bashri rahimahullah menjelaskan salah satu maksud hadits ini. Beliau berkata, “Pada pagi hari seorang muslim masih menetapkan terjaganya kesucian darah, kehormatan dan harta saudaranya tetapi pada sore hari dia berubah menjadi menghalalkannya. Dan pada sore hari dia masih menjaga kesucian darah, kehormatan dan harta saudaranya lalu keesokan harinya dia berubah menjadi menghalalkannya.” Demikian sebagaimana dinukil oleh Imam Tirmidzi (lihat dalam Basha’ir fil Fitan hal. 117 karya Syaikh Dr. Muhammad Isma’il al-Muqoddam)
Dari hadits dan atsar di atas banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran. Diantaranya adalah bahwa fitnah atau kerusakan yang menerpa seorang muslim akan menyebabkan rusaknya agama. Oleh sebab itu kita diperintahkan untuk berlindung dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Sebagaimana yang diucapkan oleh para sahabat na’udzu billaahi minal fitan; maa zhahara minhaa wa maa bathan yang artinya, “Kami berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah; yang tampak dan yang tersembunyi.” (HR. Muslim)
Salah satu bentuk atau akibat fitnah/kekacauan itu adalah terjadinya pertumpahan darah diantara kaum muslimin karena tindakan memberontak kepada pemerintah muslim. Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah seperti pemberontakan yang dilakukan oleh Khawarij ataupun terjadinya perang dalam kondisi fitnah. Hal ini menyebabkan rusaknya hubungan diantara kaum muslimin -antara rakyat dan penguasa- dan rusaknya persatuan. Dan sebagaimana diketahui bahwasanya pembunuhan kepada sesama muslim adalah salah satu bentuk kekafiran ashghar. Oleh sebab itu para ulama Ahlus Sunnah melarang kudeta kepada pemerintah muslim; walaupun ia zalim dan ahli maksiat. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa bersabar menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu pokok diantara pokok-pokok Ahlus Sunnah.
Dalam kondisi fitnah, melakukan amal-amal salih dan beribadah kepada Allah adalah perisai yang akan melindungi dari terpaan fitnah. Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beribadah ketika terjadi kekacauan -fitnah atau maraknya pembunuhan- seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim). Hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwasanya ikut menceburkan diri ke dalam fitnah dan pergolakan politik melawan penguasa muslim bukanlah termasuk amal salih dan ibadah. Sebab syari’at memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat kepada penguasa muslim bagaimana pun kondisinya selama bukan dalam hal maksiat.
Di sinilah kita mengenal kaidah para ulama yaitu saddu dzari’ah atau menutup celah-celah keburukan. Semua pintu dan jalan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam fitnah dan keburukan haruslah dibendung. Membendung fitnah itu adalah dengan menjauhi segala bentuk ucapan dan perbuatan yang semakin menyulut atau menyalakan api fitnah. Oleh sebab itu para ulama menegaskan terlarangnya mengkritik penguasa di muka publik melalui aksi-aksi demonstrasi, unjuk rasa, dan lain sebagainya. Karena pada akhirnya hal itu akan melahirkan dampak negatif yang lebih besar. Diantara dampaknya adalah ghibah, namimah, kerusuhan, perpecahan, bahkan pertumpahan darah.
Imam al-Ajurri rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Wahai manusia, hendaklah kalian berpegang teguh dengan ketaatan -kepada penguasa muslim- dan al-jama’ah (persatuan di bawah penguasa muslim). Sesungguhnya itu adalah tali Allah yang diperintahkan untuk kita pegangi. Apa-apa yang kalian benci di dalam persatuan itu lebih baik daripada apa-apa yang kalian sukai di dalam perpecahan.” (lihat dalam Basha’ir fil Fitan, hal. 110)
Dalam kitabnya Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “… Oleh sebab itu telah menjadi ketetapan dalam pedoman Ahlus Sunnah untuk meninggalkan peperangan ketika terjadi fitnah berdasarkan hadits-hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka pun menyebutkan prinsip ini di dalam aqidah yang mereka tulis. Mereka memerintahkan untuk bersabar menghadapi ketidakadilan penguasa dan tidak berperang melawan mereka.” (lihat Basha’ir fil Fitan, hal. 106)
Diantara bentuk amal salih yang paling penting dan paling utama -apalagi dalam situasi fitnah dan kekacauan- adalah dengan terus mempelajari tauhid dan mendakwahkannya kepada umat manusia. Mengajarkan kepada manusia cara yang benar dalam menghamba kepada Rabbnya. Mengajarkan kepada mereka jalan yang lurus dalam mengikuti agama Islam. Mengajarkan kepada mereka cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Mengajarkan kepada mereka untuk hadir sholat berjama’ah di masjid dan menimba ilmu agama. Mengajarkan kepada mereka untuk menghormati ulama dan penguasa. Mengajarkan kepada mereka untuk berdzikir dan bersyukur kepada Allah. Mengajarkan kepada mereka untuk bertakwa kepada Allah di mana pun dan kapan pun. Mengajarkan kepada mereka untuk bersabar ketika tertimpa musibah dan bertaubat dari dosa-dosa. Mengajarkan kepada mereka hal-hal yang semakin memperkuat iman dan memperingatkan mereka dari hal-hal yang bisa melemahkan dan merusak iman.
Inilah salah satu bagian faidah dan pelajaran dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin bagi seorang mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan; dimana satu sama lain saling memperkuat.” (HR. Bukhari)
Semoga nasihat singkat ini bermanfaat bagi kita semuanya.